Konversi Lahan. Siapa yang UNTUNG??
Beragam kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk mendorong ketersediaan
lahan pertanian berkelanjutan. Termasuk memberikan insentif dan
perlindungan, atau melarang konversi lahan pertanian produktif.
Tujuannya jelas, agar lahan pertanian tidak terus menerus berkurang.
Jika berkurang, tentu berpengaruh langsung pada ketersediaan pangan.
Namun, larangan konversi lahan pertanian tampaknya tidak berjalan
sesuai rencana. Meskipun sudah diatur dalam peraturan perundangan,
larangan konversi lahan tetap sukar dijalankan. Lahan pertanian tetap
saja berubah menjadi kompleks perumahan, mall, atau pun lokasi gedung
perkantoran. Pemerintah daerah, utamanya kabupaten/kota sebagai pemilik
wilayah di daerah, juga lebih memilih memberikan lahannya untuk
proyek-proyek yang lebih menguntungkan APBD ketimbang untuk lahan
pertanian.
Peran Gubernur
pemerintah provinsi melalui Gubernur berkewajiban
mengoordinasikan, membina, mengawasi, mengevaluasi, dan memastikan Perda
yang dibuat pemerintah kabupaten/kota tetap sinkron dengan Perda yang
dibuat pemerintah provinsi dan berbagai peraturan di atasnya, seperti
yang diamanatkan PP No 79 Tahun 2005 dan PP No 23 Tahun 2011 yang
menjadi derivasi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Gubernur pun harus diberi kewenangan mengevaluasi dan membatalkan
Perda kabupaten/kota yang tidak sesuai dengan peraturan di atasnya.
Pembatalan itu bersifat final dan mengikat. Artinya, pembatalan Perda
tidak bisa dipersoalkan lagi oleh pemerintah kabupaten/kota pembuatnya.
Jangan sampai seperti yang terjadi di Jawa Barat (Jabar). Sebagai
contoh, di sana, alih fungsi lahan pertanian cukup tinggi, kurang lebih 3.000
hektare per tahun. Padahal, Pemerintah Provinsi Jabar sudah mengeluarkan
Perda No 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Jabar Tahun 2009-2029 dan Perda No 27 Tahun 2010 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Namun, kedua Perda itu tidak berjalan efektif . Di
Kabupaten Karawang, jangankan terjadi sinkronisasi antara
penataan ruang dan lahan pertanian yang dibuat provinsi dan kabupaten.
Kabupaten Karawang sendiri malah belum memiliki dan menetapkan luas
lahan pertanian yang harus dipertahankan dalam bentuk Perda.
Dampaknya, Kabupaten Karawang mengalami alih fungsi lahan pertanian
sebesar kurang lebih 317,10 hektare selama sepuluh tahun terakhir ini. Pemerintah
Provinsi Jabar pun hanya bisa menjadi penonton tanpa melakukan perubahan yang membangun untuk lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar